Minggu, 21 Juni 2009

Terbaik di Antara yang Buruk

“Memang tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik di antara yang buruk,” ujar sang pengamat politik nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi seperti ini juga cukup populer di kalangan gerakan Islam. Dalam bahasa kaidah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhafud-dhararain : mencari syar’ (keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror (bahaya)-nya lebih ringan.
Kita setuju dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Janganlah kepala negara, tiga orang yang mengadakan perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin). Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterapkan oleh sang kepala Negara.
Imam (kepala Negara) diangkat untuk mengurus kaum Muslim baik urusan dunia maupun agama. Kaum Muslim diurus bukan dengan sembarang hokum, tapi wajib dengan hokum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam, bukan hokum yang lain.
Sementara siapa pun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia.
Kini, yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang berdasarkan syariah Islam (Khilafah) di mana hukum yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi siapa pun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam yang menjadi hukum resmi negara.
Rasulullah SAW sendiri mencotohkan saat fase Mekkah. Ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya di tangan umat Islam, Rasulullah tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasaan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kaum Quraisy, Rasulullah menolak. Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rasulullah tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antara hak dan batil. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.
Sikap Rasulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rasulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit? Bukankah dengan kekuasaan itu, kaum Muslim sedikit terlepas dari siksaan? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang? Rasulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi. Meskipun Rasulullah dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan.
Penggunaan dua kaidah di atas tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dharar haruslah berdasarkan syariah Islam, bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dharar dalam Islam misalnya kalau memang mengancam jiwa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock).
Menurut pengarang kitab Nazhm al-Qawa’id al-Fiqhiyah, diantara dalil kaidah ini adalah Alqur’an surat al-Baqarah: 173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama, bahaya yang mengancam jiwa. Kedua, bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghidari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa denga cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak ada pilihan lain.
Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk berdasarkan syariah Islam. Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada pilihan ketiga yang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin, yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan, semakin baik.
Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin. Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Di hadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman, jelas akan mendapat pahala yang besar.
Di samping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih dengan alasan syar’i, tentusaja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.
Sebaliknya, partisipasi umat Islam dalam pemilihan kepala negara yang menjalankan sistem sekuler justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut.
Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Bukan minimalis. Memilih untuk mendapat sedikit keuntukngan, namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam).
(Dikutip dari tabloid Media Umat edisi 15, 25 Jumadil Akhir – 9 Rajab 1430 H, kolom editorial)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar